Diary Dera



Semua orang pasti mempunyai keinginan memiliki keluarga yang sempurna. Begitupun aku, aku begitu merindukan kasih sayang seorang kedua orangtuaku. Terakhir kali kurasakan kehangatan sebuah keluarga, adalah ketika aku Ujian Nasional SMP. Bahagia, saat kedua orangtua memperhatikanku, menemaniku saat belajar, dan menyemangatiku setiap waktu.
Kenangan manis yang sempat kurasakan dua tahun yang lalu. Namun kini semua itu bagaikan mimpi, mereka tidak pernah memiliki waktu untukku. Pekerjaan membuat mereka lupa, bahwa mereka memiliki aku. Seorang anak yang membutuhkan kasih sayang dan perhatian kedua orangtuanya. Aku bahkan hampir lupa bagaimana wajah Mama dan Papaku, karna kita hampir tak pernah bertemu.
Mama dan Papa pulang larut malam, dan masih terlelap saat aku berangkat sekolah. Bahkan di akhir pekan pun mereka tak pernah ada di rumah. Terkadang aku berfikir, kenapa aku dilahirkan jika hanya untuk dicampakkan. Mereka memang mencukupi semua kebutuhanku dengan materi yang berlimpah, namun mereka melupakan kebutuhan batinku. Hanya Diary yang mau mendengarkan curahan hatiku, hanya diary yang tau apa yang aku rasakan, dan hanya diary yang tau apa yang terjadi pada hidupku.
***
"Pagi Dera," sapa Sonya. Gadis manis itu duduk disampingku. "Oh iya, nanti kamu jadi main ke panti kan? Ibu sudah memasakan makanan kesukaanmu."
Aku mengangguk. Ada perasaan sakit yang menyayat hatiku. Kapankah Mama memperlakukanku seperti itu? Sampai sekarang aku belum pernah merasakan masakan Mama. Bahkan dia tidak tau apa makanan kesukaanku.
"Der, kamu sakit?" Sonya menyentuh keningku. "Panas." Bisiknya khawatir.
"Gue gpp Son, cuman meriang kok. Nanti juga sembuh."
"Tapi kamu pucet banget, Der. Kamu udah sarapan?"
Aku menggeleng. Bi Sumi sakit, sehingga tak ada yang menyiapkan sarapan untukku. Persediaan susu di kulkas juga habis. Keperluan rumah tangga memang selalu kacau kalau Bi Sumi ngga ada.
"Duh, Dera kamu kan punya mag. Jangan sampai telat makan!" Wajah Sonya tiba-tiba berubah jadi garang. "Sekarang kamu makan bekal aku, ngga ada tapi-tapian! Nanti pas istirahat kamu traktir aku sebagai gantinya!" Sonya kembali tersenyum.
Kalau Sonya udah seperti itu, aku ngga akan pernah bisa mengelak. Oh... baiknya sahabatku.
***
Akhir-akhir ini aku merasa ada yang tidak beres dalam tubuhku. Wajahku selalu tampak pucat, aku sering mimisan, tubuhku terasa lemas, dan kadang-kadang saat berjalan, aku kehilangan keseimbangan. Tapi sepertinya hanya masuk angin, aku hanya perlu beristirahat total untuk beberapa hari. Mama dan Papa sedang keluar kota, lagi-lagi diary menjadi satu-satunya tempat curahan hatiku. Tak ada yang memperhatikanku, aku mengeri mereka sibuk.
Setelah dua hari beristirahat, akhirnya aku bisa kembali bersekolah. Dua hari di rumah membuatku bosan. Dan pelajaran olahraga kali ini terasa begitu menyenangkan. Aku bisa bermain basket dengan leluasa bersama teman-temanku.
"Der, ayo lempar bolanya!" Teriak Fahmi yang berada di dekat ring. Aku mencoba melempar, namun tiba-tiba pandanganku menjadi kabur, kepalaku sakit, dan semuanya menjadi gelap. Aku hanya bisa mendengar jeritan teman-teman meneriakkan namaku.
Aku sudah berada di kamar ketika aku terbangun. Hanya ada Sonya yang tertidur di sofa. Gadis itu memang benar-benar tulus menjadi sahabatku. Dia yang selalu ada disampingku saat aku membutuhkan bantuan. Aku mencoba duduk, namun pusing di kepalaku semakin menjadi. Apa yang terjadi kepadaku? Aku terdiam, sebulir air mata mengalir dari pelupuk mataku. Mungkinkah?
Aku mengambil laptopku, mencoba mencari kebenaran atas ketakutan yang tiba-tiba muncul. Tuhan,,, semoga semua ini hanya sebatas ketakutanku saja. Semua yang terjadi pada tubuhku akhir-akhir ini, keanehan-keanehan yang mulai kualami, dan kondisiku kesehatanku yang semakin memburuk. Ternyata ini adalah tanda-tanda. Akankah yang terjadi pada kakekku, akan terulang dan menimpaku.
"Der, kenapa kamu menangis?" Tanya Sonya heran.
Aku hanya menggeleng, dan memaksakan sebuah senyuman, aku ngga mau melihat sahabatku semakin khawatir. "Son, makasih ya, Elo udah mau nemenin gue."
"Tenang aja Der, aku selalu ada buat kamu. Sekarang kamu istirahat, aku akan membuatkan bubur hangat untukmu." Ujar Sonya penuh semangat.
***
"Tapi kondisi kamu sudah semakin memburuk Der, kemoterapi hanya mencegah..." Dokter Malik terdiam.
"Mencegah kematian kan dok," aku hanya bisa tersenyum getir. "Saya mohon, jangan sampai ada yang mengetahui kalau saya sakit."
"Tapi..."
"Saya mohon dokter, toh kedua orangtua saya takkan memperdulikannya. Saya percaya dokter bisa menjaga rahasia ini." Setelah kurasa cukup, aku bergegas pergi. Semakin lama berada di rumah sakit, membuat hatiku terasa semakin sakit.
Aku terdiam di depan kaca, wajahku semakin pucat dan rambutku semakin banyak yang rontok. Mungkin kondisi kesehatanku semakin memburuk. Bahkan untuk beberapa hari ini aku tidak bisa masuk sekolah. Hanya bisa berdiam diri di kamar. Hanya bisa berbagi kesedihan dalam Diary kesayanganku. Namun tetap saja, kedua orang tuaku tak peduli. Bahkan mereka tidak mengetahui aku sakit.
"Dera, bagaimana keadaanmu?" Tanya Sonya khawatir. "Kamu semakin pucat, dan kenapa rambutmu semakin menipis? Apakah kamu sudah minum obat?"
Aku hya bisa tertawa melihat Sonya yang begitu mengkhawatirkanku. "Gue gpp Son, Oh iya Son gue boleh minta tolong ngga?"
Sonya mengangguk, "Apa yang bisa aku bantu Der?"
"Suatu hari nanti, gue pengen Elo nerbitin Diary yang selama ini gue tulis. Agar tidak ada Dera lain yang bernasib sama seperti yang gue alami saat ini."
*******
Aku rasa kondisiku semakin memburuk. Mungkinkah waktuku sudah tidak lama lagi? Dan tiba-tiba aku ingin bercengkrama dengan Mama dan Papa. Aku merindukan mereka. Aku mencoba menemui mereka saat sarapan. Meminta mereka agar tetap berada di rumah untuk menemaniku. Sehari ini saja. Namun lagi-lagi kekecewaan yang kutemui.
"Maafkan Mama ya Nak, hari ini Papa sama Mama ada meeting penting." Mama mencium keningku. "Lekas sembuh ya sayang..."
Aku berlari ke kamar, aku menangis histeris. Hatiku sakit, ternyata memang benar. Harta dan kekayaan lebih berharga di bandingkan nyawaku. Kuambil buku diaryku, dan aku mulai bercerita. Namun Tiba-tiba tetesan darah segar mengotori diaryku. Mungkinkah ini pertanda? Apakah sel darah putih telah berhasil memakan semua sel darah merah yang ada ditubuhku?
*****
Sonya berdiri di samping makam Dera, "Dera sayang, apa kabar? Aku sudah menuruti semua maumu. Buku diarymu sudah terbit. Bahkan menjadi best seller, tapi maaf aku belum sempat memberikan diary itu kepada kedua orangtuamu, karena mereka kecelakaan saat menuju rumah sakit. Dan di hari itu pula mereka menyusulmu. Terima kasih Dera untuk semua nasehat dalam diarymu. Semoga tidak ada lagi Dera yang lainnya." Sonya menaburkan bunga kemakam Dera dan kedua orang tuanya.
"Harta dan kekayaan terkadang membuat orang lupa diri, begitu juga kedua orangtuaku. Pekerjaan membuat mereka lupa, bahwa mereka memiliki aku. Seorang anak yang membutuhkan kasih sayang kedua orangtuanya. Aku berharap diluar sana tidak ada orangtua yang tega meninggalkan putrinya demi sebuah jabatan. Cukup aku yang merasakannya.
Untuk Mama dan Papaku...
Aku tidak membutuhkan rumah semegah ini, aku tidak memerlukan kekayaan yang melimpah. Yang aku inginkan hanyalah kasih sayang dari kalian. Kenapa Kalian tak pernah ada saat aku terluka, bahkan ketika aku sakitpun kalian tak pernah tau. Dan itu begitu menyakitkan. Andaikan kalian bisa memahami hatiku. Tapi aku tak mau berharap, Karna kekecewaan yang selalu kudapatkan.
Ma, Pa... Bahkan saat dokter memvonis aku menderita leukimia pun, aku lebih memilih untuk bungkam. Aku meminta dokter Malik merahasiakan semuanya. Aku menolak untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang, aku lebih memilih kemoterapi. Toh kalian takkan pernah peduli denganku. Aku lelah Ma, maaf jika aku terlalu lemah. Mungkin aku durhaka, tapi kalian benar-benar membuatku terluka.
Bahkan saat aku sudah merasa kematianku semakin dekat, saat aku meminta kalian meluangkan waktu untukku. Kalian lebih memilih mengikuti meeting perusahaan. Padahal itu adalah permintaan terakhirku. Terima kasih Ma, Pa. Hingga saat malaikat maut menjemputku, kalian tak ada disisiku. Biarkan aku pergi Ma, dan kalian tak perlu menangisi kepergianku.
Salam sayang dariku, Dera.
***


EmoticonEmoticon