Ini Tentang Rasa

Aku memiliki rasa,,,
Yang belum seharusnya ada,,,
Dan ini sungguh menyiksa,,,
Yaa Rabb, aku takut...
Rasa ini membuatku semakin jauh dariMu...
Aku mohon, tunjukanlah jalan lurusMu...
Ikhlaskan hati untuk melepaskan
Mudahkan jika aku bisa memiliki...
Dengan cara terbaikMu yaa Allah,
Dengan cara yang kau Ridhoi,,,

Itulah jeritan hatiku hampir setiap malam, rasa ini benar-benar menyiksaku, menyesakkan batinku. Aku tau aku salah, menyimpan rasa yang belum semestinya ada. Beberapa kali kucurahkan cerita ini kepada orang-orang terdekatku, untuk sekedar mengurangi bebanku, namun tetap saja rasa ini menghantuiku, merusak fokusku, dan mengganggu ibadahku. dia, dia, dia yang seringkali menyelinap dalam fikiranku, membuat perasaanku berdesir tiap waktu.

Mengikuti berbagai kajian pranikah, seminar pranikah, dengan niat aku bisa melepaskan rasa ini, tapi kenapa semakin menguat?
"Yaa Allah, aku ingin menikah, aku takut berlama-lama dengan rasa ini. Mudahkanlah langkahku yaa Allah, tunjukan jalanMu untuk memudahkan semua urusanku." itulah doa yang senantiasa kupanjatkan di penghujung Mei 2016.

Bismillah, aku yang akan memulai niat baik ini. Aku yakin yaa Allah, jika memang benar dia yang Engkau takdirkan untukku, maka Engkau akan memberikan kemudahan disetiap langkahku. Aku memberanikan diri bercerita kepada sahabat terbaikku, ia seringkali menjadi perantara taaruf, dan beliau pun sudah mengenal dia. Hingga pada akhirnya, beliau dan suaminyalah yang menjadi perantara.

Proses itu bermula diawal Juni 2016, saat itu aku memutuskan untuk refreshing sejenak, memanfaatkan liburan panjang dan mengambil cuti beberapa hari untuk berlibur sebelum Ramadhan datang. Awalnya aku tidak pulang ke rumah Ibu di Cilacap, aku pergi ke Panti, tempat tinggalku dan pendidikan tambahanku ketika SMA. Namun ditengah perjalanan, ada pesan yang membuatku merubah rencana.

"Alfi pulang? Ketemu ibu ngga?"
Sesimple itu, tapi mampu merubah semuanya. Dan aku memutuskan untuk pulang ke Cilacap, setelah sekejap bernostalgia di panti asuhan tempat tinggalku ketika SMA. Dan sampai di rumah, kucurahkan semua perasaanku pada Ibu, tentang keinginan untuk segera menyempurnakan agama, tentang proses yang kujalani, dan memohon doa restunya, agar Allah memberkahi langkah ini. Dan aku mulai berani menyebut namanya di depan ibu.

"Mintalah yang terbaik dari Allah, dan teruslah beristikoroh." hanya itu yang ibu katakan, namun mewakili semuanya. Aku semakin mantap untuk melangkah, karena sudah mendapat izin dari orangtua. Saat perjalanan kembali ke Bandung, aku mendapatkan pesan dari sahabatku untuk sesegera mungkin membuat cv. Ahh saat itu rasanya😍

Seminggu setelah bertukar cv, dia mengatakan untuk melanjutkan proses ini. Karena memang sudah kenal, selama proses taaruf tidak ada pertemuan khusus, obrolan via telfon berempat dengan sahabatku dan juga suaminya. Lucu juga kalau dipikir-pikir, kalau ketemu pun seolah there'is nothing. Lempeng aja. Seminggu kemudian dia berniat datang ke rumah untuk menyampaikan niat baiknya, Qodarullah saat itu Guru kami diuji dengan sakit, sehingga dia full bertugas. Dan rencana itu mundur, baru terealisasikan sepuluh hari menjelang Lebaran.

Ahh, jika mengingat perjuangan beliau ketika datang ke rumah benar-benar membuat terharu. Bandung-Cilacap bukanlah jarak yang dekat, dan dia pergi menggunakan motor, saat puasa dan musim hujan pula. Mengandalkan gps, akhirnya dia sampai di rumah tepat jam 10 malam. Disaat hujan deras mengguyur cipari malam itu. Sampai sekarang, kalau lagi ada rasa kesal dengannya, mengingat perjuangannya saat menghalalkanku bikin hati meleleh dan rasa kesal itupun hilang. Paginya, dia baru mengutarakan niat baiknya, alhamdulillah orangtua langsung setuju. Mulailah menentukan tanggal pernikahan.

Kami berdua memiliki prinsip yang sama, ingin pernikahan ini dilakukan secara sederhana, awalnya kami sepakat hanya akad saja, namun dari pihak keluarga menginginkan ada syukuran kecil-kecilan. Keluarlah beberapa tanggal yang dipilih, menyesuaikan jadwal Aa Gym, karena aku ingin beliau yang memberikan khutbah nikah, hingga terpilihlah tanggal 06 November 2016. Ingin dipercepat sebenarnya, namun karena satu dan lain hal, tetap terlaksana di tanggal itu.

Semuanya kami persiapkan masing-masing, aku fokus membuat souvenir, dan dia membuat undangan dan kartu ucapannya, disaat-saat itu jarang sekali ada komunikasi, masih dirahasiakan, hanya pihak keluarga dan orang terdekat yang tau. Dia selalu mengingatkan, pasrahkan semua kepada Allah, dan berusahalah untuk menahan rasa, semua kemungkinan masih bisa terjadi. Agak sulit memang, hehehe rasa berbunga-bunga itu seringkali menyelinap hadir. Untungnya dia bisa menjaga rasa itu dengan baik.

Waktu berlalu begitu cepatnya, sebulan menjelang hari H,  mulai dibentuk kepanitiaan, karena memang konsepnya sederhana, semuanya dikerjakan sendiri, mulai dari dekorasi pelaminan, baju nikah, hidangannya, dll. Alhamdulillah dikelilingi orang-orang baik yang membantu dengan senang hati. Kepanitiaan melibatkan teman kosan, khidmaters sekpim, dan beberapa pelatih SSG. Ahhhh, terharu dengan kerja keras mereka yang berhasil mempersiapkan semuanya dengan baik, walaupun dengan keterbatasan dana. Tangan-tangan kreatif mereka mampu membuat hari bahagiaku sangat berkesan.

Seminggu menjelang hari H, rasanya semakin ngga karuan, ada beberapa konflik namun cepat terselesaikan,  drama-drama kecil menjadi kenangan tersendiri. Tidak ada yang dipingit, karena H-2 pun, calon pengantin pria masih bertugas mendampingi Guru di Aksi 411, dan entah kenapa itu menjadi nilai tersendiri untukku. Aku tau perjuangannya mempersiapkan semua ini, disela-sela kesibukkannnya dalam bertugas.

Daan akhirnya sah...
Melihat air matanya menetes setelah mengikrarkan akad nikah membuat air mataku ikut mengalir. Ahhh rasanya...
Ada kebahagiaan yang tak terhingga, karena selama ini hanya memendam rasa, atau dalam bahasa kekinian mah cinta dalam diam, dan akhirnya dipertemukan dalam ikatan yang halal, dan tanpa pacaran. Masya Allah...


EmoticonEmoticon