Aku mempunyai seorang kakak, Namanya Herbandugo, biasa di panggil Bandu. Dia anak pertama dari lima bersaudara. Di keluarga, dia adalah anak yang paling cerdas, selalu nangkring diposisi tiga besar tiap ulangan semester, paling tampan parasnya, dan paling pandai merawat diri.
Aku sangat bangga memiliki kakak seperti Mas Bandu, karena dia kakak yang paling dekat denganku. Aku sering menyebutnya seorang sastrawan karena tulisan-tulisannya begitu indah, goresan penanya menjadi gambar yang mempesona. Berbagai kelebihan yang ia miliki itu membuat banyak orang memuji dan menyayanginya.
Namun runtutan kejadian membuatnya berubah total. Berawal dari tidak diterimanya Mas Bandu di UGM dengan selisih nilai yang sangat kecil, padahal UGM adalah kampus yang dia inginkan sejak dulu. Ditambah kejadian preman salah sasaran tak berselang lama dari pengumuman penerimaan mahasiswa baru, masih di kota yang sama, Yogyakarta.
Suatu malam kakak dan sepupu keluar membeli madu, tiba-tiba dijalan mereka dikeroyok preman, kakak berhasil melarikan diri, ia terus berlari hingga akhirnya melompat ke sungai agar terlepas dari kejaran preman-preman itu. Tangan kirinya teratuk batu dan menyebabkan patah tulang. Kejadian itu membuat tangan kirinya sedikit bengkok.
Sejak itulah Mas Bandu mulai berubah. Proses berubahnya pun bertahap, mulai dari sering melamun sambil sambil senyum-senyum sendiri, mulai jarang mengobrol dengan keluarga, hingga pada tahap penampilannya berubah seperti preman, memakai gelang besi bertumpuk, kalung rantai yang tidak hanya satu, cincin dengan batu permata imitasi yang besar, membiarkan rambut ikalnya terurai panjang, dan suka nongkrong di terminal, orang-orang sekitar bahkan sudah menganggap kakakku gila.
"Ndu, kamu senang dengan penampilanmu seperti ini?" berkali-kali ibu menanyakan hal ini. Namun hanya dijawab dengan sebuah senyuman dan anggukan, lalu ia melangkah pergi.
"Ngga malu dianggap orang gila...?"
"Engga..." jawabnya singkat sambil tersenyum dan memainkan rambut panjangnya yang ikal. Berbagai nasehat yang orangtua sampaikan, seolah menjadi angin lalu, tak sedikitpun didengar.
"Ndu, kamu sekarang inginnya ngapaian...? Mau kuliah atau mau kerja...?" Ibu selalu berusaha mengajak Mas Bandu ngobrol, paling engga Beliau bisa tau apa yang dirasakan kakak pertamaku ini, namun tak pernah mendapatkan jawaban.
***
Seiring berjalannya waktu, penampilannya kembali seperti semula, kami fikir semua itu sudah berakhir. Tapi ternyata, perubahannya itu adalah titik awal munculnya berbagai peristiwa yang mengerikan. Akal sehatnya seolah menghilang.
Saat itu kondisi ekonomi keluarga sedang surut, untuk memenuhi kebutuhan sehari-haripun butuh perjuangan ekstra. Tapi apa yang kakak pertamaku lakukan, ia sobek tiga lembar uang seratus ribu menjadi butiran kecil yang tak mungkin bisa disatukan, ia sebar serpihan uang itu di kamar mandi.
"Ndu, itu kenapa uangnya disobek-sobek...? Kan kamu tahu kalau Ibu sedang tidak memegang uang. Nanti kamu makannya gimana...?"
Bukannya menjawab pertanyaan Ibu, Mas Bandu malah melotot, wajahnya memerah seperti orang menahan amarah. Lalu pergi begitu saja.
Mas Bandu semakin sering mengamuk. Setiap apa yang menjadi kemauannya tidak terlaksana, ia marah dan membanting apapun yang ada disekitarnya, tak peduli meskipun itu perabot penting, atau dia memukul tiang-tiang penyangga dengan kedua tangannya. Suatu ketika saat marah di dapur, ia membanting termos dan juga kompor gas, sehingga berhari-hari, memasaknya menggunakan kayu bakar.
Dan dia akan menceracau penuh makian ketika Ibu atau siapapun membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an.
"Diam woy...!!! Berisik...!!!" teriaknya sambil menendang-nendang pintu kamar. Ia seperti cacing kepanasan saat mendengar kalam-Nya dibacakan.
Berbagai ikhtiar sudah dilakukan, membawa kakakku ke Ruqyah Center, karena saat itu keluarga kami belum mengetahui apa yang diderita kakak pertamaku ini. Kami kira dia hanya kerasukan, memang benar ketika di ruqyah reaksinya sangat mengerikan, dan membuat terapisnya kewalahan.
Dan setelah beberapa kali di ruqyah pun tidak ada perkembangan, kondisinya semakin memburuk. Hingga akhirnya kakakku diungsikan ke desa Bapak. Kondisinya masih tetap sama, ketika mengamuk ia hantam pepohonan, entah sekuat apa tangannya. Karena dia tidak pernah peduli dengan luka dan darah di tangannya.
Bagaimana perasaan kami saat itu...???
Campur aduk. Namun Ibu selalu bisa menguatkan kami. Tak sedikitpun Beliau menampakkan wajah lelah, Beliau tetap kuat dengan semangat yang membara, meskipun berbagai cacian didengarnya. Beliau jarang berkata-kata, namun aura keikhlasan yang memancar dari wajahnya itulah yang membuat kami kuat.
Suatu hari aku pulang bermain sambil menangis, ada tetangga yang menyindir keluargaku habis-habisan. Dia bilang, kalau ada satu yang gila di keluarganya, biasanya yang lain pun sama. Entah dia serius atau sekedar bercanda, namun kata-katanya benar-benar menyakitkan. Saat itu Ibu hanya memeluk, mencoba menenangkanku.
"Semua ini Ujian dari Allah. Pasti ada hikmah yang sangat besar yang belum kita temukan. Allah tau keluarga kita mampu menghadapi semua ini, karena Allah tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan hamba-Nya. Kita ini keluarga pilihan. Jangan hiraukan omongan orang lain, dengarkan saja, tak perlu diambil hati. Tak perlu malu, karena bagaimanapun Mas Bandu, adalah bagian dari keluarga kita." nasehat Ibu ketika kami semua berkumpul. "Doakan Bapak dan Ibu, agar segera menemukan solusi untuk Mas Bandu."
***
Hingga suatu ketika, Allah mulai menunjukkan jalan-Nya. Ibu dipertemukan dengan seorang psikiater, setelah ngobrol panjang lebar, keluarlah diagnosa jika kakakku menderita Skizofernia. Akhirnya kakak kembali dibawa pulang, dan dimulailah pengobatan. Setahun pertama belum terlihat perubahan yang signifikan, masih suka mengamuk, membanting benda-benda di sekitarnya, dll. Waktunya dihabiskan untuk tidur, mungkin itu efek obat.
Sedikit demi sedikit dosis mulai dinaikkan, perubahan mulai terlihat. Kakakku semakin jarang mengamuk, mulai menunaikan solat 5 waktu, meski harus diingatkan, sudah mulai mau ke masjid ketika shalat Jum'at, mulai berpuasa Ramadhan meski berkali-kali membuka lemari mencari makanan, dan bisa berbaur dengan keluarga ketika momentum Lebaran. Meski hanya sebentar, dan menghabiskan waktu lainnya untuk tidur.
"Alhamdulillah, kalian sudah bisa merasakan pertolongan Allah kan? Semakin hari kondisi Mas Bandu semakin membaik. Banyak sekali pelajaran yang Ibu dapatkan selama mendampingi Mas Bandu. Ibu mendapatkan banyak ilmu baru, dipertemukan dengan para ahlinya, dengan pasien-pasien yang menderita Skizofernia, juga keluarga yang mendampinginya. Ibu tidak harus kuliah untuk mendapatkan ilmu yang sangat berharga ini. Sungguh, skenario yang Allah susun untuk keluarga kita sangatlah indah." bulir air mengalir dari pelupuk matanya. Bukan air mata kesedihan, tetapi air mata penuh syukur. "Tidak ada kejadian yang buruk, jika kita bisa menyikapinya. Setiap ujian bisa menggugurkan dosa atau sebagai peningkat derajat kita di Sisi Allah.."
Aku menemukan sosok Ibu yang baru, seorang ibu yang nasehatnya merasuk dalam kalbu. Seorang ibu yang ketika dipandang menenangkan hati, meski usianya semakin menua. Semoga semua ini tanda-tanda dari Allah, bahwa Allah memuliakan Beliau. aamiin
Babak baru dimulai, kakak sudah sangat jarang mengamuk, bahkan hampir tidak pernah. Banyak sekali kemajuan yang diperlihatkan. Apalagi sejak Ibu membuka bisnis kue tradisional di rumah, kakakku turut berperan aktif di dalamnya. Dia yang mengantar kue ke toko-toko, dia yang berbelanja, dan dia juga membantu proses pengemasan. Memang, kesadarannya belum muncul, semua itu masih sesuai dengan permintaan Bapak/Ibu.
Hari demi hari semakin tampak perubahannya. Mulai muncul kepekaan untuk membantu menyapu halaman, mencuci piring, menimba air, dll. Mas Bandu juga mulai mau menghafal Al-Qur'an dan menyimak materi kajian yang ibu sampaikan setiap selesai shalat Maghrib sampai Isya, mulai mau berkomunikasi dengan keluarga, mulai bisa bercanda.
Alhamdulillah, sekarang menghafal Juz 29. Perjuangan Ibu selama kurang lebih 14 tahun mulai membuahkan hasil. Meski diwaktu tertentu halusinasinya masih muncul, namun tidak sesering dulu, dan ia bisa meredamnya sendiri, dengan bantuan ibu tentunya.
"Bu, kalau aku jualan gimana yaa...?" tanyanya suatu hari. "Tapi aku ngga punya modal."
Ibu bahagia sekali mendengarnya, satu demi satu inisiatifnya mulai muncul. "Mau jualan apa? Ya memang saat ini kita belum punya modal, tapi kita kan punya Allah, minta sama Allah biar dimudahkan rezekinya."
***
Akhirnya Ibu dan Mas Bandu membuka toko kecil di rumah saudara yang kebetulan letaknya di sebelah SMP. Di sana dijual berbagai macam aksesoris dan peralatan sekolah, alhamdulillah banyak yang membantu sehingga Ibu dan Mas Bandu bisa membuka toko ini.
"Bu, kok sepi yaa...?" tanyanya karena sejak buka belum juga ada yang membeli. Padahal sudah seminggu. Karena di pelosok desa, daya beli masyarakat juga rendah, banyak toko yang buka pun sama, sepi.
"Orang-orang belum tau Ndu apa yang kita jual, kamu ada ide apa, untuk menarik orang agar mau datang ke warung?" tanya Ibu mencoba memancing pola pikir Mas Bandu.
"Ngga tau." katanya sambil tertawa. "Kan sudah lama ngga belajar."
Ibu tersenyum mendengar jawaban Mas Bandu, sudah lama tidak ada obrolan seperti ini. "Tugas kita hanya menyempurnakan ikhtiar, Ndu. Rezeki udah diatur sama Allah. Kalau ngga laku pun sudah bernilai ibadah asal ikhlas."
Mas Bandu mendapat tugas mencatat tiap ada barang yang laku terjual. Namun tetap saja, untuk berdagang sendiri masih belum PD, masih butuh pendampingan dari Ibu.
"Tu dek Alfi udah mau nikah, kamu mau ngga ibu carikan jodoh...?" goda Ibu sehari menjelang pernikahanku, saat itu kami semua berkumpul di Bandung.
"Engga..." katanya sambil tertawa. "Ngga ada yang mau sama saya."
"Siapa bilang, nanti kalau udah waktunya ketemu, pasti Allah pertemukan, dengan seorang wanita yang bisa menerima kamu sepenuhnya. Minta sama Allah biar disegerakan." Dan Mas Bandu hanya tersenyum.
***
Sampai sekarang, proses pengobatan masih terus berjalan, sebulan sekali Ibu mendampingi kakak berobat ke Cilacap. Pergi pagi pulang sore dengan biaya yang tidak sedikit sudah menjadi rutinitas setiap awal bulan.
Di penghujung tahun 2017, ada acara keluarga di Lampung. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Ibu, ini adalah momentum untuk membangkitkan semangat Mas Bandu, memancing inisiatifnya agar semakin banyak yang muncul. Suatu sore ibu mengajak Mas Bandu berjalan menyusuri pantai, hanya berdua.
"Apa yang kamu rasakan, Ndu?"
"Biasa saja Bu." jawabnya saat itu. Tapi ibu terus memancing dengan berbagai cerita, dengan berbagai kisah, dengan harapan Mas Bandu mulai bisa merasakan lingkungannya.
"Masya Allah, ternyata indah yaa Bu. Sejuk..." hingga akhirnya kata-kata itu terlantun dari mulut Mas Bandu. Ia mulai rileks, menikmati desiran angin pantai, meresapi suara deburan ombak menghantam batu karang. "Nanti mau bikin puisi lagi." katanya sambil tersenyum.
Ahhh... betapa berbunga-bunganya hati Ibu saat itu. Bagi orang biasa kejadian seperti ini adalah hal sepele. Namun bagi penderita skizofrenia, ini adalah perkembangan yang luar biasa. Sisi positivnya mulai muncul kembali. Ibu yang bertahun-tahun mendampingi Mas Bandu, memantau perkembangannya, sangat-sangat bersyukur dengan adanya momentum ini.
***